Social Icons

Pages

Friday, May 9, 2014

Jilbabku, Jilbabmu dan Jilbab Kita

Jilbab saat ini telah menjadi bagian dari gaya hidup. Ya. Bagian dari gaya hidup. Bukan sebagai sebuah kewajiban yang dipenuhi seorang hamba atas perintah Tuhannya. Tapi sebagai sebuah gaya hidup. Kenapa? Karena jilbab sekarang sudah menjadi trade mark fashion. Nggak percaya? Berapa banyak sekarang jilbab dengan model aneka rupa berseliweran dijajakan? Dan pedagang jilbab bukan saja bertempat sekedar di lapak kaki lima sebuah pasar tradisional, tapi kini telah menempati booth tersendiri di sebuah pusat perbelanjaan kelas atas. Bahkan ada toko semi boutiqe yang menjajakan jilbab secara eksklusif.

Anyway, sebenarnya saya menulis ini karena terusik dengan adegan yang saya lihat di dalam angkot. Ini bukan adegan tidak senonoh, tapi cukup membuat saya malu melihatnya. Ini juga bukan adegan perampokan dalam angkot, tapi cukup membuat saya bergidik ngeri melihatnya. Penasaran? Tunggu setelah pesan-pesan berikut ini *kriuuuuk* *eaaah* *ditimpuk pembaca*


Jadi, ketika saya pulang dari suatu tempat, angkot yang saya naiki hanya berisi tiga orang yang kebetulan berjenis wanita (termasuk saya). Dan secara kebetulan, kesemuanya berjilbab. Yang membedakan saya dengan dua orang lainnya adalah mereka masih mengenakan seragam putih abu-abu dengan menggunakan maskara dan wajah dilapisi bedak serta pipi bersemu karena blush on sedangkan saya tidak menggunakan seragam abu-abu serta tanpa make up dan hanya menampilkan pesona alami saya *eaah* *dilarang protes*

Wujud mereka yang masih lebih hijau dari saya tapi sudah berbalut make up saja sudah agak ganjil bagi saya. Tapi saya tak ambil pusing, mungkin saja saya yang telat puber sampai-sampai tidak berani menyentuh bahan-bahan make up. Dan makin ganjil ketika sang driver angkot yang masih terlihat muda dan belum cukup dewasa mulai menggoda salah satu dari “adik” berseragam abu-abu ini. Yang lebih ganjil, si “adik” pun menanggapi dengan balik menggoda. Saya tidak “mengganjilkan” interaksi ini. Yang saya “ganjilkan” adalah apakah si “adik” ini tidak sadar dengan apa yang dia lakukan dan apa yang dia kenakan?

Menurut pengalaman saya pribadi, apa yang kita lakukan ketika kita mengenakan sesuatu adalah representatif dari suatu kelompok atau golongan. Seperti yang saya post di entri saya sebelumnya.

Kalau masalah jilbab ini terlalu berat untuk mengimajinasikannya, saya akan memberi analogi lain. Ketika ada seseorang yang menggunakan jaket angkatan dengan tulisan “PENDIDIKAN FISIKA 2007” sedang melakukan pelanggaran di jalan raya, maka orang lain akan beranggapan bahwa anak FKIP Fisika angkatan 2007 lah pelakunya. Atau yang paling parah ada pihak yang dengan sederhananya nge-judge bahwa SEMUA anak FKIP Fisika angkatan 2007 adalah pelanggar aturan lalu lintas dan tidak tertib, walau pada kenyataannya yang melakukan pelanggaran adalah satu orang saja. Atau bahkan ternyata yang melakukan pelanggaran tersebut adalah  orang lain yang kebetulan sedang meminjam jaket angkatan tersebut. Nah lo!

Jadi, ketika kita berjilbab, entah itu karena memang kita yang sadar bahwa berjilbab adalah suatu kewajiban bagi muslimah yang telah akil baligh ataupun berjilbab karena sekedar memenuhi suatu kewajiban duniawi (read: terpaksa), misalnya saja karena kita di sekolah diwajibkan berjilbab sehingga mau tidak mau yah berjilbab daripada diciduk tim kedisiplinan sekolah ataupun guru BK, saat itu juga kita sedang membawa citra diri kita sebagai seorang muslimah.

Bila kelakuan kita sebagai seorang muslimah yang berjilbab nyeleneh dengan kadar ke-nyeleneh-annya yang terlampau jauh, bisa jadi sikap kita akan membuat muslimah lain yang belum berjilbab jadi bergidik ngeri membayangkan bagaimana bila setelah mereka berjilbab mereka tidak dapat menjaga sikap seperti itu? Atau bagaimana bila ada saudara kita sebangsa yang berbeda agama dengan kita melihat dan menilai bahwa ternyata jilbab itu hanya aksesoris semata, dipakai untuk pelengkap saja tanpa membawa efek apapun bagi pemakainya?

Yah saya menulis ini tidak berniat menghakimi siapapun. Tuhan Maha Adil, tidak perlu pihak ketiga yang membantu untuk menghakimi hambaNya. Saya menulis ini sebagai bahan renungan kita bersama. Bahan pengingat bagi saya bahwa jilbab bukan hanya sebagai pelengkap pakaian saja. Tapi gunakan seperti kita menggunakan pakaian yang layak pada umunya. Bila kita menggunakan sepatu dari bahan suede, kita pasti akan hati-hati melangkah, menghindari becekan, menghindari lumpur, merawatnya jangan sampai berdebu agar terlihat indah ketika digunakan, agar terlihat bahwa si pemilik dan pemakai benar-benar mencintai dan merawat apa yang dimiliknya dan digunakannya.

Seperti itulah hakikatnya jika kita berjilbab. Kita kenakan jilbab sebagai pengingat kita. Pengingat bahwa Tuhan selalu Mengamati kita. Pengingat agar kita baik dalam bersikap, menghindarkan diri dari berbagai sikap yang dapat merugikan citra diri kita sebagai individu ataupun sebagai seorang muslimah. Perlihatkan bahwa Sang Pengguna Jilbab begitu mencintai apa yang dia kenakan, begitu memahami makna dari apa yang ia kenakan dan pada akhirnya akan menjalaninya dengan suka cita tanpa beban karena dia menjalaninya dengan sepenuh hati.

Karena ini bukan hanya tentang jilbabku, tapi juga tentang jilbabmu. Iya. Ini tentang jilbab kita :)

No comments:

Post a Comment